Pelaksanaan Pancasila di Indonesia
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata
Kuliah Kewarganegaraan
Syaeful Gunawan
210110100193
Kelas E
Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad
2010
Pendahuluan
Menurut etimologi Pancasila itu
berasal dari bahasa sangsekerta dari dua bagian kata yaitu panca yang artinya lima dan sila yang
artinya dasar. Pancasila merupakan dasar Negara republic Indonesia,
dimana pancasila dijadikan sebagai dasar dalam mengatur penyelanggaran
pemerintahan Negara.
Dasar negara merupakan pijakan dan mampu memberikan
kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga berdasarkan
pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila. Pancasila, dalam fungsinya
sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur negara Republik
Indonesia,
termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah dan
rakyat. Pancasila dalam kedudukannya seperti inilah yang merupakan dasar
pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh kehidupan negara Republik Indonesia.
Pancasila mempunyai arti menjadikan Pancasila
sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan menyatukan bangsa
dengan tujuan yang sama. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang
berarti melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua
peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia bersumber pada
Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
mempunyai implikasi
bahwa Pancasila terikat oleh suatu kekuatan secara hukum,
terikat oleh struktur kekuasaan secara formal, dan meliputi suasana kebatinan
atau cita-cita hukum yang menguasai dasar negara. Cita-cita hukum atau suasana
kebatinan tersebut terangkum di dalam empat pokok pikiran Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila.
Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih lanjut
terjelma ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti misalnya ketetapan MPR,
undang-undang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
Dalam
pelaksanannya Pancasila dari segi intrinsik harus konsisten, koheren, dan
koresponden, sementara dari segi ekstrinsik Pancasila harus mampu menjadi
penyalur dan penyaring kepentingan horisontal maupun vertikal.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menjawab jalur-jalur apa
yang dapat digunakan untuk memikirkan dan melaksanakan Pancasila. Pranarka
(1985) menjelaskan adanya dua jalur formal pemikiran Pancasila, yaitu jalur
pemikiran politik kenegaraan dan jalur pemikiran akademis. Sementara Profesor
Notonagoro (1974) menjelaskan adanya dua jalur pelaksanaan Pancasila, yaitu
jalur objektif dan subjektif.
Sejarah
perkembangan pemikiran Pancasila menunjukkan adanya kompleksitas permasalahan
dan heteregonitas pandangan. Kompleksitas permasalahan tersebut meliputi (1)
masalah sumber; (2) masalah tafsir; (3) masalah pelaksanaan; (4) masalah apakah
Pancasila itu Subject to change; dan (5) problem evolusi dan kompleksitas di
dalam pemikiran mengenai pemikiran Pancasila. Permasalahan tersebut mengundang
perdebatan yang sarat dengan kepentingan. Pemecahan berbagai kompleksitas
permasalahan di atas dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu jalur pemikiran
politik kenegaraan, dan jalur pemikiran akademis.
Jalur
pemikiran kenegaraan yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa, Dasar
Negara dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan kebijakan
politik. Para penyelenggara negara ini
berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat
perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan. Tujuan penjabaran
Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret dan
praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum sebagai metodologi,
sebagaimana yang telah diatur oleh UUD.
Permasalahan
mengenai Pancasila tidak semuanya dapat dipecahkan melalui jalur politik
kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang membantu memberikan
kritik dan saran bagi pemikiran Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis,
yaitu dengan pendekatan ilmiah, ideologis, theologis, maupun filosofis.
Pemikiran
politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk pengambilan keputusan atau
kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga kadang-kadang
kurang memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya
kadang berbagai kebijakan justru kontra produktif dan bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian pemikiran akademis berfungsi sebagai
sumber bahan dan kritik bagi pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya
kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para pengambil kebijakan merupakan
masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran akademis. Setiap pemikiran
akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik kenegaraan,
sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas
atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.
Jalur
pemikiran ini sangat terkait dengan jalur pelaksanaan. Pelaksanaan Pancasila
dapat diklasifikasikan dalam dua jalur utama, yaitu pelaksanaan objektif dan
subjektif, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
Pelaksanaan
objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila pada
setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam
bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia. Pelaksanaan subjektif,
artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap
penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Menurut Notonagoro
pelaksanaan Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting,
karena sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila.
Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur melalui
proses pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di
lingkungan keluarga dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa
pengetahuan, kesadaran, ketaatan, kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak
dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Sebaik apa pun produk
perundang-undangan, jika tidak dilaksanakan oleh para penyelenggara negara maka
tidak akan ada artinya, sebaliknya sebaik apa pun sikap mental penyelenggara
negara namun tidak didukung oleh sistem dan struktur yang kondusif maka tidak
akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Pelaksanaan Pancasila secara objektif sebagai Dasar Negara membawa
implikasi wajib hukum, artinya ketidaktaatan pada Pancasila dalam artian ini
dapat dikenai sanksi yang tegas secara hukum, sedangkan pelaksanaan Pancasila
secara subjektif membawa implikasi wajib moral. Artinya sanksi yang muncul
lebih sebagai sanksi dari hati nurani atau masyarakat.
Pelaksanaan Pancasila Pada
Masa Reformasi
Terlepas dari kenyataan yang ada, gerakan
reformasi sebagai upaya memperbaiki kehidupan bangsa Indonesia ini harus dibayar mahal,
terutama yang berkaitan dengan dampak politik, ekonomi, sosial, dan
terutama kemanusiaan. Para elite
politik cenderung hanya memanfaatkan gelombang reformasi ini guna meraih
kekuasaan sehingga tidak mengherankan apabila banyak terjadi perbenturan
kepentingan politik. Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi
kemanusiaan yang sangat memilukan. Banyaknya korban jiwa dari anak-anak bangsa
dan rakyat kecil yang tidak berdosa merupakan dampak dari benturan kepentingan
politik. Tragedi “amuk masa” di Jakarta, Tangerang, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, serta daerah-daerah lainnya merupakan
bukti mahalnya sebuah perubahan. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, nampak
sekali bahwa bangsa Indonesia
sudah berada di ambang krisis degradasi moral dan ancaman disintegrasi.
Kondisi sosial politik ini diperburuk oleh
kondisi ekonomi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sektor riil
sudah tidak berdaya sebagaimana dapat dilihat dari banyaknya perusahaan maupun
perbankan yang gulung tikar dan dengan sendirinya akan diikuti dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK). Jumlah pengangguran yang tinggi terus bertambah seiring
dengan PHK sejumlah tenaga kerja potensial. Masyarakat kecil benar-benar
menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini
diperparah dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, serta
harga bahan kebutuhan pokok lainnya. Upaya pemerintah untuk mengurangi beban
masyarakat dengan menyediakan dana sosial belum dapat dikatakan efektif
karena masih banyak terjadi penyimpangan dalam proses penyalurannya. Ironisnya
kalangan elite politik dan pelaku politik seakan tidak peduli den bergaming
akan jeritan kemanusiaan tersebut.
Di balik keterpurukan tersebut,
bangsa Indonesia
masih memiliki suatu keyakinan bahwa krisis multidimensional itu dapat
ditangani sehingga kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik. Apakah yang
dasar keyakinan tersebut? Ada beberapa kenyataan
yang dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia
dalam memperbaiki kehidupannya, seperti: (1) adanya nilai-nilai luhur yang
berakar pada pandangan hidup bangsa Indonesia; (2) adanya kekayaan yang
belum dikelola secara optimal; (3) adanya kemauan politik untuk memberantas
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pelaksanaan Pancasila dalam Bidang Ekonomi, Politik dan
Hukum
Hampir semua pakar ekonomi Indonesia
memiliki kesadaran akan pentingnya moralitas kemanusiaan dan ketuhanan sebagai
landasan pembangunan ekonomi. Namun dalam praktiknya, mereka tidak mampu
meyakinkan pemerintah akan konsep-konsep dan teori-teori yang sesuai dengan
kondisi Indonesia.
Bahkan tidak sedikit pakar ekonomi Indonesia
yang mengikuti pendapat atau pandangan pakar Barat (pakar IMF) tentang
pembangunan ekonomi Indonesia.
Pilar Sistem Ekonomi Pancasila meliputi: (1)
ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar), (2) nasional ekonomi dan
demokrasi (cara/metode operasionalisasi), dan (3) ekonomi berkeadilan sosial
(tujuan). Kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dalam bidang ekonomi
cukup dikaitkan dengan pilar-pilar di atas dan juga dikaitkan dengan
pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dipecahkan oleh sistem ekonomi apapun.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: (a) Barang dan jasa apa yang akan dihasilkan
dan berapa jumlahnya; (b) Bagaimana pola atau cara memproduksi barang dan jasa
itu, dan (c) Untuk siapa barang tersebut dihasilkan, dan bagaimana
mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.
Langkah yang perlu dilakukan adalah perlu
digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan
dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran agar ilmu ekonomi ini
dikembangkan ke arah ekonomi yang humanistik, bukan sebaliknya mengajarkan
keserakahan dan mendorong persaingan yang saling mematikan untuk memuaskan
kepentingan sendiri. Ini dilakukan guna mengimbangi ajaran yang mengedepankan
kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai manusia ekonomi (homo
ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk sosial
(homo socius), dan makhluk beretika (homo ethicus).
Relevankah Ekonomi Pancasila dalam
memperkuat peranan ekonomi rakyat dan ekonomi negara di era global (isme)
kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem ekonomi kita sudah mapan,
makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator rendahnya inflasi (di bawah 5%),
stabilnya rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku bunga (di bawah 10%). Lalu,
apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah
“tercoreng”, dan tidak nampak wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini
begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena “salah urus” dan
bukannya “salah sistem”, apalagi dikait-kaitkan dengan “salah ideologi” atau
“salah teori” ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang ikut memberi sumbangan
besar bagi keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga
tidak terlepas dari berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan
liberalisme ekonomi yang “kebablasan”. Akibatnya, kebijakan, program, dan kegiatan
ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori
kapitalisme-liberal.
Di sinilah relevansi Ekonomi Pancasila,
sebagai “media” untuk mengenali (detector) bekerjanya paham dan moral ekonomi
yang berciri neo-liberal Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD
1945 adalah dasar negara dari negara kesatuan Republik Indonesia yang harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Pembangunan politik memiliki dimensi yang
strategis karena hampir semua kebijakan publik tidak dapat dipisahkan dari
keberhasilannya. Tidak jarang kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah
mengecewakan sebagian besar masyarakat. Beberapa penyebab kekecewaan
masyarakat, antara lain: (1) kebijakan hanya dibangun atas dasar kepentingan
politik tertentu, (2) kepentingan masyarakat kurang mendapat perhatian, (3)
pemerintah dan elite politik kurang berpihak kepada masyarakat, (4) adanya
tujuan tertentu untuk melanggengkan kekuasaan elite politik.
Keberhasilan pembangunan politik bukan hanya
dilihat atau diukur dar terlaksananya pemilihan umum (pemilu) dan terbentuknya
lembaga-lembaga demokratis seperti MPR, Presiden, DPR, dan DPRD, melainkan
harus diukur dari kemampuan dan kedewasaan rakyat dalam berpolitik. Persoalan
terakhirlah yang harus menjadi prioritas pembangunan bidang politik. Hal ini
sesuai dengan kenyataan objektif bahwa manusia adalah subjek negara dan karena
itu pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Namun, cita-cita ini sulit diwujudkan karena tidak ada kemauan dari elite
politik sebagai pemegang kebijakan publik dan kegagalan pembangunan bidang
politik selama ini.
Pembangunan politik semakin tidak jelas
arahnya, manakala pembangunan bidang hukum mengalami kegagalan.
Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi tidak dapat ditegakkan oleh hukum.
Hukum yang berlaku hanya sebagai simbol tanpa memiliki makna yang berarti bagi
kepentingan rakyat banyak. Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik juga
belum dapat direalisasikan sebagaimana yang dicita-citakan. Oleh karena itu,
perlu analisis ulang untuk menentukan paradigma yang benar-benar sesuai dan
dapat dilaksanakan secara tegas dan konsekuen.
Pancasila sebagai paradigma pambangunan
politik dan hukum kiranya tidak perlu dipertentangkan lagi. Bagaimanakah melaksanakan
paradigma tersebut dalam praksisnya? Inilah persoalan yang perlu mendapat
perhatian dalam pembangunan politik dan hukum di masa-masa mendatang.
Apabila dianalisis, kegagalan tersebut disebabkan oleh
beberapa persoalan seperti:
1.
Tidak jelasnya paradigma pembangunan politik dan hukum
karena tidak adanya blue print.
2.
Penggunaan Pancasila sebagai paradigma pembangunan
masih bersifat parsial.
3.
Kurang berpihak pada hakikat pembangunan politik dan
hukum.
Prinsip-prinsip pembangunan politik yang
kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa implikasi yang luas
dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia. Pembangunan bidang ini
boleh dikatakan telah gagal mendidik masyarakat agar mampu berpolitik secara
cantik dan etis karena lebih menekankan pada upaya membangun dan mempertahankan
kekuasaan. Implikasi yang paling nyata dapat dilihat dalam pembangunan bidang
hukum serta pertahanan dan keamanan.
Pembangunan bidang hukum yang
didasarkan pada nilai-nilai moral (kemanusiaan) baru sebatas pada tataran
filosofis dan konseptual. Hukum nasional yang telah dikembangkan secra rasional
dan realistis tidak pernah dapat direalisasikan karena setiap upaya penegakan
hukum selalu dipengaruhi oleh keputusan politik. Oleh karena itu, tidak
berlebihan apabila pembangunan bidang hukum dikatakan telah mengalami
kegagalan. Sementara, pembangunan bidang pertahanan dan keamanan juga telah
menyimpang dari hakikat sistem pertahanan yang ingin dikembangkan seperti yang
dicita-citakan oleh para pendiri republik tercinta ini. Pembangunan pertahanan
dan keamanan lebih diarahkan untuk kepentingan politik, terutama guna
mempertahankan kekuasaan.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi oleh H.
Subandi Al Marsudi, SH., MH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar