Rabu, September 28, 2011

Kekerasan Terhadap Wartawan


Kekerasan Terhadap Wartawan
Wartawan yang sering disebut juga sebagai jurnalis merupakan orang yang secara teratur melakukan penginformasian dalam bentuk berita dan tulisannya dimuat di media massa. Wartawan mencari informasinya sendiri dan mereka selalu diharapkan menuliskan laporan seobjektif mungkin untuk melayani masyarakat. Wartawan merupakan suatu profesi, maka dari itu segala sesuatunya perlu dilakukan seprofesional mungkin. Seorang yang profesional dapat dikatakan profesional bila mereka memiliki keahlian dalam bidangnya, bertanggung jawab akan segala hasil dan mampu mempertahankan etika dalam ruang lingkupnya, Dalam pelaksanaan tugasnya, wartawan terlihat sangat sibuk begitu menikmati berbagai sensasi yang dirasakannya. Kesulitan dalam mendapatkan informasi tidak menjadi alasan untuk berhenti melakukan investigasi. Sebagai wartawan, kemampuan berkomunikasi efektif sangatlah dibutuhkan. Wartawan harus mampu membuat suatu hubungan yang harmonis dengan seluruh narasumbernya walaupun narasumber tersebut merupakan “musuh” yang dapat membahayakan wartawan tersebut karena adanya ketidaknyamanan narasumber akan investigasi yang dilakukan terhadapnya.
Wartawan bukanlah suatu profesi yang mudah. Kecintaan dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar diperlukan agar wartawan mampu membaca minat akan berita yang diharapkan masyarakat. Wartawan harus mampu melihat dari berbagai sisi agar terhindar dari masalah sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan akan kebenarannya. Suatu kebenaran perlu dimunculkan melalui wartawan.
Namun menjadi wartawan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Ada beberapa etika dan aturan yang perlu di mengerti dengan baik oleh seorang wartawan. Di Indonesia sendiri, hasil penelitian Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) tahun 2006, ditemukan 85 persen wartawan yang ada di Indonesia tidak pernah membaca dan memahami kode etik jurnalistik.  Kenyataan ini diterbitkan oleh Harian Kompas Agustus tahun 2009 lalu. Wartawan merasa kode etik itu hanya membatasi pergerakan wartawan saja. Banyak yang menyesalkan hal ini, karena sesungguhnya kode etik adalah adalah penyeimbang berita. Tanpa adanya kode etik, masyarakat akan menganggap media sudah melewati batas dan akan berdampak menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media. Namun untuk menangani hal tersebut, Dewan pers tengah berusaha mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya kode etik tersebut. Kode etik tersebut sesungguhnya sangat bermanfaat bagi wartawan karena jika wartawan mematuhinya tentu saja akan membuat wartawan berjalan di jalan yang “aman”. Tidak akan ada kekerasan terhadap wartawan yang semakin lama semakin banyak terekspos di media. Semua ini semata-mata bukan hanya kesalahan pelaku tindak kejahatan, namun kita juga perlu berhati-hati dalam setiap tindakan yang akan kita lakukan. Logika perlu diperkuat kemampuannya dalam memahami baik dan buruk hasil dati apa yang mungkin terjadi.Maka dari itu, selain membutuhkan kekuatan fisik dan mental yang maksimal, dibutuhkan pula kesiapan diri secara menyeluruh karena menjadi seorang wartawan mempunyai risiko yang cukup tinggi.
Wartawan kerap kali mendapatkan tindak kekerasan yang berasal dari orang-orang atau golongan yang tidak menyukainya. Ketidaksukaan ini cendrung timbul karena berbagai alasan, namun kebanyakan orang menyimpulkan bahwa sumber dari kekerasan yang didapatkan wartawan itu karena ketidakpuasan/kekecewaan suatu pihak akan informasi yang disebarkan wartawan. Namun sesungguhnya tidak hanya itu alasan yang mendasarinya, kadang ada beberapa alasan yang membuat suatu pihak mengancam kenyamanan hidup wartawan, antara lain karena ketidaksopanan wartawan dalam menggapai informasi, kesalahpahaman informasi yang diberikan, bahkan ada wartawan yang mendapatkan tindak kekerasan hanya karena tidak mempu menyelesaikan tugasnya sesuai deadline.
Pada 2009 saja, menurut LBH Pers tercatat 33 kasus kekerasan secara fisik yang dialami wartawan. Belum lagi termasuk kekerasan psikis, dalam bentuk teror, intimidasi, sampai ancaman fisik. Boleh jadi, pengetahuan masyarakat yang belum memadai mengenai fungsi dan tugas pers membuatnya kalap bertindak. Kekerasan terhadap wartawan juga disebabkan enggannya pihak yang bertikai untuk menyelesaikannya lewat dewan pers atau di media itu sendiri. Selama ini, mekanismenya sudah jelas: ada hak jawab, ralat berita, klarifikasi, atau mediasi (pertemuan) di dewan pers. Namun, bagi sebagian orang, itu belum memuaskan. Maka, disewanya preman bayaran, teror SMS, sampai kekerasan secara fisik. Profesi wartawan memang rentan bila memberitakan kasus yang sensitif, apalagi membongkar bobrok atau aib seseorang. Akan tetapi, inilah tugas mulia wartawan untuk melaporkannya pada public (masyarakat).
Kekerasan yang dialami wartawaan didaptnya dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, warga kampung, hingga artis metropolitan. Salah satu korban kekerasan dari kalangan mahasiswa adalah Subandi Arya, koresponden Metro TV sekaligus wartawan harian Alkhairaat, Palu, Sulawesi Tengah yang dikeroyok mahasiswa Universitas Sintuvu Maroso, Poso. Pemukulan terhadap Subandi diduga karena terkait pemberitaan di Media Alkhairaat, edisi Jumat (25/2/2011). Hari itu, Subandi mewartakan aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Sintuvu Maroso (Unsimar) pada Kamis (24/2/2011) yang membakar belasan kursi di halaman kampus dan melempari kaca jendela ruangan rektorat. Kelompok mahasiswa ini meminta Rektor Unsimar Lefran Mango mengundurkan diri dan tidak lagi mencalonkan diri pada pemilihan rektor periode 2011-2015. Dalam beritanya, Subandi mengutip sumber mahasiswa bernama Khutbah. Menurut Khutbah, aksi itu tidak lagi murni untuk kepentingan mahasiswa karena sudah mengarah pada pembunuhan karakter Rektor Unsimar. Berita itu oleh mahasiswa dianggap keliru. Pada Senin pukul 13.30 Wita, Subandi dipukul sekitar 20 mahasiswa di sekitar kampus Unsimar. Sejumlah mahasiswa dan aparat polisi berseragam sipil yang melihat aksi itu kemudian menghentikan pemukulan. Subandi dievakuasi ke Mapolres Poso. Ketua Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Palu Ridwan Lapasere mengatakan, kasus ini harus diselesaikan secara hukum karena sudah masuk ranah tindakan kriminal. AJI Palu akan mengumpulkan bukti-bukti medis dan bukti fisik korban. Sebagai informasi, Subandi adalah anggota AJI Palu yang bertugas di Poso. Kasus penganiayaan wartawan sebelumnya juga terjadi di Kota Palu pada 30 Desember 2010.
Kantor media online Beritapalu yang juga sekretariat AJI diserang sekelompok pemuda berseragam. Empat wartawan dipukul, satu di antaranya mengalami luka di bagian pipi.
Berbeda dengan Ridwan Salamun, reporter Sun TV, di Tual, Maluku Tenggara, yang terbunuh dalam bentrok antara kelompok Banda Ely dan Fiditan di Maluku. Ridwan yang terjebak di tengah massa, tiba-tiba dibacok dari belakang. Tidak cukup sampai di situ, ia juga dianiaya oleh sekelompok warga bersenjata, tanpa ada yang menolong. Dalam keadaan luka parah, handycam yang dipakai korban dirampas dan hingga kini belum ditemukan. Tiga orang terdakwa dalam kasus itu, yakni Hasan Tamnge, Ibrahim Raharusun, Syahar Renuat, dituntut delapan bulan penjara. Belakangan ada beberapa pihak yang mencoba menutup-nutupi aksi kedua kelompok tersebut dengan menyatakan bahwa Ridwan yang saat itu sedang ada di lokasi pula tidak sedang meliput kejadian, namun sedang menjadi bagian dari salah satu kelompok yang kemudian menyerang kelompok lainnya sehingga tidak ada yang perlu disalahkan dri kedua belah pihak. Namun tetap saja kebenaran akn hal itu masih sulit dijelaskan oleh fakta yang ada karena tidak ada keterangan pasti dari Ridwan yang sekarang sudah meninggal dunia. kematian Ridwan semakin memperpanjang daftar kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan oleh kelompok massa atau orang tak dikenal. Pada 7 Juli 2010, wartawan Global TV, Darussalam, dan wartawan Indosiar Mas'ud Ibnu Samsuri, diintimidasi dan diancam dibakar sekelompok  jawara (preman) saat meliput pencemaran limbah pabrik di Kecamatan Curug, Tangerang, Banten. Beruntung keduanya diselamatkan warga setempat. Pada 28 Juli 2010, empat jurnalis di Merauke, Papua, menerima ancaman kekerasan dan pembunuhan melalui kiriman pesan pendek (SMS) oleh orang yang diduga tim sukses calon Bupati Merauke yang gagal. Keempatnya, Lidya Salma Achnazyah (Bintang Papua), Agus Butbual (Suara Perempuan Papua), Idri Qurani Jamillah (Tabloid Jubi) dan Julius Sulo (Cendrawasih Pos).
Sebelumnya, teror yang sama dialami Ardiansyah, wartawan Merauke TV. Kasus ini masih ditangani aparat kepolisian setempat. Buntut kasus teror di Merauke itu, kematian Ardiansyah Matrais. Wartawan malang itu, ditemukan tewas di kawasan Gudang Arang, Sungai Maro, Merauke, 29 Juli 2010. Investigasi awal tim AJI Jayapura menunjukkan mantan wartawan Tabloid Jubi dan kontributor Anteve ini, tewas akibat kekerasan sebelum dibuang ke sungai oleh pelaku. Hasil otopsi yang dumumk Mabes Polri, Jumat (20/8) menunjukkan indikasi Ardiansyah meninggal akibat penganiayaan berat.
Masih dari tanah jayapura, kini jurnalis Jakarta Globe dan Vivanews, Banjir Ambarita. Jurnalis yang biasa disapa dengan Bram ini ditusuk orang tak dikenal 3 Maret lalu di Jayapura, Papua. Insiden ini terjadi setelah Bram menulis berita tentang kekerasan seksual yang dilakukan polisi di Jayapura, Papua. Berita terakhir yang dibuat Bram terkait soal ini adalah 27 Februari lalu tentang kejahatan seksual yang dialami oleh tahanan perempuan di ruang tahanan polisi di Jayapura.
AJI Papua menyatakan, jurnalis di daerah ini terus menerus menerima ancaman dalam menjalankan profesinya.  Serangan terus menerus terhadap jurnalis ini menciptakan ketakutan di Papua. Maka tentu saja satu-satunya jalan untuk menghentikan ini adalah dengan membawa pelakunya ke proses hukum.
Kasus-kasus tersebut mungkin tidak terlalu ekstrim didengar karena kekerasan nampaknya sudah mulai menjadi santapan yang ringan bagi para wartawan di Indonesia. Namun kekerasan yang dialami oleh para wartawan tersebut tentu saja akan lebih menggigit ketika dalang dalam penganiyaian tersebut merupakan tokoh yang sudah dikenl masyarakat luas. Kasus yang masih hangat contohnya adalah kekerasaan terhadap wartawan yang dilatarbelakangi oleh artis-artis panggung hiburan Indonesia seperti dugaan pengeroyokan wartawan Global TV, Noviandi Kurniawan yang dilakukan oleh musisi Ahmad Dhani dan beberapa anak buahnya. Dugaan pengeroyokan itu terjadi saat Noviandi meliput di kediaman penyanyi Mulan Jameela di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Kekerasan yang dilakukan para artis tersebut terkadang terlihat lebih menarik perhatian. Contoh lain kekerasan yang dialami wartawan oleh artis adalah rusaknya salah satu kamera wartawan yang dihancurkan oleh Ariel Peterpan ketika kasus video porno tentangnya melejit. Bersama Luna Maya, Ariel memang tampak terdesak oleh riuhnya wartawan yang menghalanginya untuk jalan. Berbagai pertanyaan yang mungkin membuatnya semakin kesal membuat Ariel dengan berani mengambil salah satu kamera wartawan dan menghancurkan lensa kamera tersebut. Kamera wartawan memang tidak lepas dari genggaman, namun lensa kamera sudah dibawa oleh Ariel ke dalam mobil.
Beberapa tahun  yang lalu, ada cukup aksi megncengangkan dari artis lawak senior Indonesia, Parto Patrio. Parto yang pada saat itu posisinya sepeti Ariel yang tertekan akan banyak pertanyaan dari wartawan. Namun Parto tidak menghncurkan kamera seperti yang dilkukan Ariel. Parto mengeluarkan senjata api berupa pistol dar celananya dan menembakan peluru secara asal ke angkasa. Beruntung tidak ada korban dari tembakan liar tersebut, namun tidak beruntung bagi Parto yang harus berhadapan dengan pengadilan karena kecerobohannya yang menggunakan senjata api secara semena-mena di tempat umum yang dianggap membahayakan orang lain.
Kekerasan terhadap wartawan baik berupa fisik maupun non-fisik seperti di atas telah meningkat sangat signifikan selama satu dekade terakhir. Setidaknya terdapat 643 kasus kekerasan terhadap pekerja media dari tahun 1999 hingga  2009. Data yang diambil dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini bahwa dari jumlah kasus tersebut, lebih dari 40 persen dilakukan oleh pejabat pemerintah, anggota legislative, dan petugas keamanan, sedangkan sisanya oleh masa.
Kekerasan terhadap Jurnalis Tertinggi di DKI Jakarta selama periode Mei 2007 hingga Mei 2008 tercatat 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk seperti kekerasan fisik, ancaman, pelecehan, pengusiran, pemenjaraan, sensor berita dan tuntutan hukum. Kekerasan tertinggi terhadap jurnalis itu terjadi di DKI Jakarta, sedangkan pelaku kekerasan terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak adalah massa dan preman, aparat pemerintah, serta aparat TNI/ Polri. Perlu diingatkan kekerasan terhadap pers dan ancaman kriminalisasi dapat mengancam kebebasan pers dan hak informasi publik secara luas. 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis itu meliputi tujuh kasus ancaman, lima kasus pelecehan, tujuh kasus pengusiran, tiga kasus pemenjaraan, empat kasus sensor berita, 21 kasus serangan fisik, dan delapan kasus tuntutan hukum. Catatan AJI juga menyebutkan berdasarkan sebaran wilayah, kekerasan paling banyak terjadi di propinsi DKI Jakarta (13 kasus), Jawa Timur dan Madura (11 kasus), serta Jawa Barat dan Depok (8 kasus). Beberapa contoh terkait kekerasan itu seperti pengeroyokan terhadap wartawan (TV dan radio) oleh massa di alun-alun Bojonegoro, karena kecewa dengan pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4) dua wartawan TV-One yang sedang bertugas dianiaya oknum TNI Angkatan Laut yang "berdinas" di kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, secara berturut-turut wartawan Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Kabupaten Ende (16/2), dan wartawan Pos Kupang dikeroyok empat preman terkait pemberitaan (17/2). kekerasan terhadap jurnalis juga dilakukan oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau jabatannya. Hal itu terlihat dalam kasus yang menimpa wartawan Tempo, Metta Darmasaputra, ketika melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri, justru disadap dan diancam pidana oleh aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa jurnalis yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar lebih sering mengalami ancaman dan bahaya. Namun walaupun demikian, jurnalis tetap diharapkan agar dapat meningkatkan profesionalisme dan kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum. Berdasarkan data diatas sesungguhnya pada tahun 2008 dapat dikatakan kekerasan terhadap wartawan sudah cukup menurun, namun jumlah kekerasan yang dialami wartawan saat menjalankan tugas peliputan tahun 2009 kembali meningkat. Masyarakat dan aparat keamanan kembali menjadi pelaku dominan dari kekerasan tersebut. Pernyataan tersebut ada dalam Catatan Akhir Tahun 2009 Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH). Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana mengatakan, kekerasan yang dialami oleh wartawan sepanjang tahun 2009 mencapai 71 kasus, meningkat 54 kasus dari tahun 2008. Kekerasan tersebut terbagi dalam kekerasan fisik dan nonfisik yang sebarannya merata di seluruh Indonesia. Dari 71 kasus itu, 33 merupakan kasus kekerasan fisik berupa penganiayaan, pemukulan, pelemparan, pengeroyokan, hingga pembunuhan. Sedangkan sisanya adalah kekerasan nonfisik dalam bentuk larangan peliputan, penghapusan hasil rekaman berita, ancaman atau teror, dan laporan kepada polisi atas hasil karya jusnalistik wartawan yang dianggap mencemarkan nama baik. Untuk kekerasan fisik, menurut Hendrayana, jumlah terbesar dilakukan oleh masyarakat yakni 10 kasus, menyusul aparat kepolisian 7 kasus, dan partai politik dan TNI 3 kasus. Sementara pada tahun 2008 lalu, pelaku tindak kekerasan terhadap wartawan paling dominan dilakukan oleh aparat TNI. Menurutnya, kasus kekerasan terhadap 'kuli tinta' yang paling berat di tahun 2009 menimpa jurnalis harian Radar Bali, Anak Agung Gede Prabangsa. Prabangsa dibunuh karena pemberitaannya mengenai penyimpangan dalam proyek di Dinas Pendidikan Bangli senilai lebih dari Rp 40 miliar. Sepanjang 2010, terjadi peningkatan kekerasan terhadap jurnalis dibandingkan tahun sebelumnya. Hal itu mengancam kebebasan pers. Berdasarkan catatan AJI, kasus kekerasan yang dialami jurnalis pada 2010 sebanyak 47 kasus, atau meningkat dibanding tahun 2009 sebanyak 37 kasus. ada kesan terjadinya peningkatan kekerasan terhadap wartawan tersebut disebabkan adanya pembiaran dari pihak berwajib. Dalam catatan AJI, setidaknya empat jurnalis meninggal dunia saat menjalani tugas jurnalistiknya. AJI juga mencatat adanya serangan fi sik terhadap jurnalis sebanyak 15 kasus, perusakan kantor dua kasus, pengusiran dan pelarangan liputan tujuh kasus, sensor dua kasus, kriminalisasi enam kasus, ancaman dan teror yang diterima wartawan lima kasus, perusakan alat milik jurnalis dua kasus, dan demonstrasi atau pengerahan massa dua kasus.
Menyikapi kasus kematian Ridwan Salamun, wartawan di Tual dan Ardiansyah Matrais, wartawan di Merauke, serta kasus-kasus kekerasan lainnya, AJI menyatakan sikap:
1.      Pertama, mengecam aksi-aksi kekerasan massa atau siapapun yang menyebabkan kematian wartawan. AJI mengingatkan, profesi jurnalistik profesional dilindungi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
2.      Kedua, meminta aparat kepolisian bersungguh-sungguh mengusut tuntas berbagai kasus kekerasan tersebut, menangkap dan membawa pelakunya ke pengadilan. Sebelumnya, kasus pembunuhan wartawan Radar Bali AA Narendra Prabangsa, Februari 2010, aparat kepolisian berhasil mengungkap kasus pembunuhan dan mengirim para pelakunya ke pengadilan.
3.      Ketiga, mengajak komunitas pers di manapun agar meningkatkan standar etik-profesionalisme, standar keselamatan kerja di lapangan, dan ikut memantau kasus-kasus kekerasan yang menimpa rekan seprofesi. Jurnalis bukanlah warga negara istimewa, namun sudah selayaknya kita menolak segala bentuk kekerasan baik yang dilakukan aparatur Negara maupun massa.

Kekerasan wartawan bisa diminimalisasi jika saja:
•       Pihak yang berkonflik memegang teguh UU Pers dan Kode etik Jurnalistik.
•       Memahami fungsi dan tugas wartawan sebagai penyampai berita dalam rangka memenuhi keingintahuan publik.
•       Melalui mekanisme yang sudah ditetapkan. Jalur di media lewat hak jawab, ralat, dst. Jalur di dewan pers melalui mediasi, rekonsiliasi, dst.
•       Wartawan memegang teguh kode etik jurnalistik untuk meminimalkan konflik terusan akibat pemberitaan yang dilaporkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar